Slamet Mulyono, adik bungsu Tole Iskandar yang disebut-sebut sangat mirip dengannya (Foto: repro buku seperti dikutip dari buku Gedoran Depok: Revolusi Sosial Tepi Jakarta 1945-1955, Sebuah Reportase Sejarah)
Depok News–Hari Pahlawan menjadi momentum mengenang pergerakan rakyat melawan penjajah. Satu di antara beberapa kelompok laskar yang menggerakkan rakyat menyerang pemukiman Belanda Depok adalah Laskar 21 pimpinan Tole Iskandar.
Ngkong Asbih, salah satu anggota Laskar 21, menceritakan bahwa setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu pada 1945, Heiho dan PETA dibubarkan dan anggotanya kembali ke kampung halaman masing-masing. Mereka diperbolehkan membawa perlengkapan kecuali senjata. Namun, ada saja beberapa orang yang bandel sembunyi-sembunyi membawa senjata.
Dalam konteks revolusi kemerdekaan Indonesia, sejumlah pemuda bekas Heiho dan PETA mengadakan rapat bulanan pada September 1945 di Jalan Citayam. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya Barisan Keamanan Depok. Anggotanya 21 orang dengan Tole Iskandar sebagai komandan. Makanya, kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan Laskar 21. Anggota Laskar 21 terdri dari Tole Iskandar, Abdoellah, Saiyan, Sainan, Sinan, Salam A, Niran, Saidi Bontjet, Idan Saidan, Tamin, Joesoep, Salam B, Baoeng, Mahroef, Muhasim, Asbih, Rodjak, Tarip, Kosim, Nadjid, dan Mamoen.
“Saya kemana-mana selalu sama Tole. Dia tinggi besar darn selalu melindungi,” kenang Ngkong Asbih ketika ditemui di rumahnya di Gang Kembang RT04/03 Ratu Jaya, Pancoran Mas, Depok. “Kami pernah sama-sama angkat bambu runcing melawan Belanda di Karawang, Bekasi, sampai Sukabumi,” sambungnya.
Saat Gedoran Depok, kata dia, Laskar 21 lah yang mengumpulkan tawanan dan memisahkan mereka menjadi dua kelompok. Menurut Ngkong Asbih, Laskar 21 tidak pernah menyakiti orang Depok yang menjadi tawanan.
“Sebagai pejuang Muslim, kami berpegang pada prinsip Nabi Muhammad yang melarang menyakiti tawanan anak dan wanita,” tuturnya.
Rumah tua milik Tole Iskandar yang masih terawat. Tole meninggal di usia muda, dan belum menikah. Karena tidak punya keturunan langsung, rumah ini dihuni anak dari adik bungsunya (Foto: Repro buku Gedoran Depok: Revolusi Sosial Tepi Jakarta 1945-1955, Sebuah Reportase Sejarah)

Kini, nama Tole Iskandar dijadikan nama jalan utama di Depok. Nama Tole Iskandar diresmikan menjadi jalan pada Desember 1983 oleh Camat Sukmajaya. Adik Tole, Sugito, hadir dalam seremoni itu mewakili pihak keluarga, seperti dikutip dari buku Gedoran Depok: Revolusi Sosial Tepi Jakarta 1945-1955, Sebuah Reportase Sejarah karya Wenri Wanhar tahun 2011.
Tole Iskandar lahir pada 1926 di Depok. Dia merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara buah perkawinan Raden Samidi Darmo Raharjo dan Sukati Setjodiwirjo. Adik Tole secara berturut-turut adalah Nyi Mas Sukarsih, Sukaesih, Sugito, Soyoto, Siti Mulyati, dan Slamet Mulyono.
“Sugito dan Suyoto itu kembar sedangkan saya anak dari Slamet Mulyono. Karena bapak saya anak bungsu, maka rumah yang pernah didiami Tole Iskandar ditempati oleh ayah saya. Sayang, kami tak punya foto Pakde Tole, tapi kata orang-orang Pakde Tole mirip sekali dengan ayah saya,” ungkap Roni Yudianto, keponakan Tole Iskandar ketika ditemui di kediamannya di RT 03/03 Gang Kembang Jalan Citayam Raya Kelurahan Ratu Jaya Kecamatan Cipayung.
Sukati, ibunda Tole, merupakan putri dari Raden Mas Setjodiwirjo dan Saripah. Setjodiwirjo berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, yang pindah ke Depok pada tahun 1800-an sebagai mantra air. Berbekal pekerjaannya itu, anak-anak dan para cucunya bisa mengenyam pendidikan di Zending, sekolah khusus anak-anak pegawai dan pejabat. Namun, Tole kecil tidak mau belajar di sekolah yang guru-gurunya sebagian besar orang Belanda. Dia memilih sekolah di Batavia. Tole bersekolah di Taman Siswa dan Sekolah Dagang di Sawah Besar.
Begitu Jepang datang, Tole tidak lagi pernah pulang ke Depok. Hubungan dengan keluarganya terputus. Tole dianggap hilang. Lama berselang, Tole tiba-tiba pulang ke Depok berseragam Shudanco lengkap dengan samurai. Rupanya, selama menghilang Tole bergabung dengan PETA. (fyu)